Jumat, 20 Juni 2014








TUGAS 8 TEMA METODE BELAJAR

Judul Buku: Belajar tanpa Sekolah,
Judul Asli: The Unschooling Handbook: How to Use Whole World As Your Child’s Classroom (1998).
Penulis: Mary Graffith
Penerjemah: Mutia Dharma Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung Cetakan: I, 2007. Tebal: 240 halaman



Di Indonesia, tahun 2006 ada 6 juta lebih anak usia 7-15 tahun yang putus sekolah. Ada lebih 14 juta orang buta huruf. Berulang kali pemerintah dikritik. Berulang kali gerakan sekolah digalakkan. Namun, selama jalan yang ditempuh sekadar membangun sekolah baru, selama itu pula ketertinggalan tidak akan teratasi secara mendasar. Harus ada terobosan baru.Di tengah-tengah kebuntuan pemerintah dalam mengatasi ketertinggalan pendidikan, Pendidikan Luar Sekolah barangkali bisa menjadi jalan alternatif untuk mengatasi persoalan keterpurukan dunia pendidikan di negeri ini. Melalui buku The Unschooling Handbook ini, Marry Griffith, seorang aktivis pendidikan di Amerika Serikat memberikan satu kesaksian di mana gerakan Pendidikan Luar Sekolah bukan saja menjadi alternatif secara ekonomis, melainkan mampu mendobrak kebekuan sistem pendidikan sekolah konvensional. Lebih dari itu, pendidikan ini juga menjanjikan suatu kesadaran tentang teori dan praktek. Pendidikan Luar Sekolah adalah alternatif yang lebih menjanjikan bagi masa depan pemikiran anak-anak. Konsep dasarnya ialah filsafat ‘pendekatan’. Istilah ini sebagai bentuk praktis di mana anak didik pada dasarnya membutuhkan perhatian tersendiri. Masing-masing anak memiliki penalaran, kecakapan, cara pandang, motivasi dan tujuan yang berbeda atas keinginannya belajar. Konsep ini adalah kritik mendasar atas kelemahan pendekatan paradigma pedagogi yang menganggap target peningkatan sumber daya manusia sesederhana menyusun impian. Padahal, menurut Marry, dunia kini dunia masa depan anak dan remaja sangat kompleks.
Pendidikan Luar Sekolah bukanlah sistem pembelajaran yang rumit. Di dalamnya tidak ada formula ajaib, tidak ada kumpulan solusi mudah untuk masalah pendidikan tiap anak, melainkan sebuah cara yang sederhana untuk merancang pembelajaran menurut kebutuhan spesifik tiap anak dan tiap keluarga. Pendidikan Tanpa Sekolah lebih mudah diterapkan daripada pendekatan bejalar yang terstruktur. Hal ini dikarenakan hanya sedikit tugas formal yang harus dikerjakan. Tidak ada pelajaran yang direncanakan, tidak ada ceramah atau tugas yang diberikan, tidak ada tes untuk ditulis dan dinilai. (hlm 194)
Apakah ini tidak sekadar permainan anak-anak? Apakah ada jaminan masa depan yang lebih baik dari pendidikan konvensional?
Pada prinsipnya, pendidikan atau pembelajaran adalah sebuah impuls alami yang didapatkan sejak lahir, dan dunia ini kaya dengan pelajaran untuk dipelajari, juga teka-teki untuk dipecahkan (hlm 40). Prinsip universal yang berlaku bagi anak-anak dan remaja adalah ‘bermain’ dan ‘belajar’.
Dalam ranah inilah proses pendidikan dilangsungkan untuk saling melengkapi. Satu ungkapan menarik disampiakan oleh seorang anak didik Pendidikan Luar Sekolah di California. Sauna (13) mengatakan,“ aku bisa belajar di lingkungan yang tidak menekan, di mana fokus utamanya adalah menyiapkan diri untuk menjadi bagian dari dunia dewasa. Akulah yang memutuskan apa yang akan kulakukan tiap hari. Kalau aku di sekolah, orang lain akan mengatur pembelajaranku, yang (bagiku) tidak masuk akal. Aku tidak bisa membaca di pohon, dengan anjingku, atau di kursi malas. Sedangkan Carol (41), salah seorang ibu yang lebih 5 tahun mendidik sendiri anaknya mengatakan, “Pendidikan Luar Sekolah berarti mempelajari apa yang kita inginkan, saat kita menginginkannya, dengan cara yang kita inginkan, di tempat yang kita inginkan, untuk alasan kita sendiri. Pembelajaran diarahkan pada si pembelajar; penasehat atau fasilitator dicari sesuai keinginan si pembelajar. (Hlm17)
Dalam konteks inilah orangtua benar-benar dilibatkan dalam proses penentuan kegiatan belajar; dengan memberi masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan Pendidikan Luar Sekolah. Orangtua harus benar-benar menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparasi dijiwai semangat demokratis, keterbukaan, disertai kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal. Sebagimana dikatakan pengamat pendidikan, Doni Kesuma A (2006), komunikasi pendidikan yang memperhatikan berbagai dimensi relasional di antara pihak-pihak yang terkait proses formasi (orang tua, pendidik, sekolah, masyarakat, dan lainnya)merupakan jalinan relasional yang saling menghargai otonomi dan peran dalam kerangka pendidikan.
Pengertian pendidikan di sini tentu lebih radikal ketimbang sekadar mengejar target kecerdasan formal. Pendidikan Luar Sekolah tidak sekadar menciptakan anak menjadi cerdas, melainkan juga memberi kesempatan, dorongan dan motivasi untuk berani mengambil sikap. Dengan demikian anak didik benar-benar mandiri, baik dalam hal berpikir maupun bertindak.
Pendidikan Luar Sekolah tidak anti-modernitas. Bahkan perangkat modern seperti televisi, radio, media cetak, otomotif bisa dijadikan ajang pendidikan sekaligus pemuasan hobi anak-anak. Siapa guru yang bisa mendidik anak-anak itu? Awalnya di California, beberapa aktivis pendidikan melakukan proses pembelajaran kepada para orang tua, terutama para ibu-ibu di daerah pedalaman. Baru setelah itu para orang tua mempraktekkan pendidikan luar sekolah kepada anak-anaknya. Di Amerika Serikat, gerakan Pendidikan Luar Sekolah ini semakin meluas dalam berbagai bentuk variasi, mulai dari yang ekstrim, seperti orang tua tidak mau menyekolahkan anaknya secara formal. Hal ini dikarenakan kesuksesan penerapan Pendidikan Luar Sekolah atas keberhasilannya melahirkan banyak anak lebih cerdas, kreatif dan memiliki karakter kepemimpinan ketimbang anak-anak sekolah formal. Selama kita tidak bicara tentang perolehan ijasah. Selama pendidikan yang kita lakukan semata-mata untuk ilmu, pengetahuan dan pengalaman, tentu Pendidikan Luar Sekolah lebih menjanjikan ketimbang sekolah formal.



Sumber:https://faizmanshur.wordpress.com/2007/05/17/jalan-baru-pendidikan-tanpa-sekolah


Judul : Mozaik Teknologi Pendidikan
Penulis : Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar



TEKNOLOGI PENDIDIKAN

A. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan
Peningkatan mutu pendidikan merupakan isu sentral di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. teknologi pendidikan merupakan bagian dari pendidikan yang ikut serta berupaya meningkatkan mutu pendidikan melalui cara-caranya yang khas. Peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan cara merancang strategi yang dikenal dengan strategi pembelajaran. Komponen pokok strategi pembelajarsn meliputi: kegiatan pembelajaran pendahuluan, penyampaian materi pembelajaran, memancing penampilan siswa, pemberian umpan balik, dan kegiatan tindak lanjut, berupa alih pengetahuan, pemberian remedial dan pengayaan. Di dalam strategi pembelajaran berbasis Multiple Intelligence (MI) dapat menjadikan siwa sebagai sang juara pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan kecerdasan yang menonjol pada dirinya, karena setiap individu atau siswa selalu ada satu lebih kecerdasan menonjol yang dimilikinya.

B. Pendayagunaan Teknologi Pendidikan
Dalam pendayagunaan teknologi pendidikan atau teknologi untuk pendidikan terdapat di setiap negara. Namun, kita tahu bahwa teknologi pendidikan, sebagaimana teknologi pada umumnya memiliki dua ciri pokok yaitu efisiensi dan efektifitas. Teknologi pendidikan yang direncanakan, dikembangkan dan dimanfaatkan secara baik dan benar akan membantu mengatasi masalah mutu, tenaga, biaya dan sumber daya lainnya. Saingan dalam antar bangsa dalam mempersiapkan anak-anak dan masyarakatnya memasuki era global melalui pendayagunaan teknologi pendidikan, suka atau tidak suka telah berjalan sejak lama bukan saja di Asia Tenggara, namun di belahan dunia lainnya. Pengembangan pendayagunaan teknologi pendidikan atau teknologi teknologi pendidikan seharusnya mendapatkan prioritas dalam upaya tertentu.
C. Teknologi Kinerja Dan Proses Belajar
Persepsi jarang disinggung dalam tulisan terkait dalam proses belajar. Padahal, cara pikir, minat, atau potensi dapat berkembang dengan baik jika seseorang memiliki persepsi yang memadai. Kemudian pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mendukung perusahaan agar mampu beradaptasi tehadap perubahan lingkungan dan mencapai keunggulan kompetitif melalui peningkatan intelegensi organisasi.
Dalam pembelajaran berbantuan komputer, rencangan instruksional haruslah dikembangkan atas dasar pemahaman bagaimana proses belajar terjadi pada diri setiap individu. Penggunanaan komputer dalam pembelajaran bukanlah dimaksudkan untuk menciptakan mesin-mesin yang mampu mengajar melainkan untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang produktif.
Diperlukan konsep sederhana untuk membantu mengingatkan dan mempermudah pemahaman-pemahaman dalam menciptakan suatu organisasi belajar dengan menyajikan konsep, asumsi, tipologi gaya belajar, dan kompeten yang dimiliki oleh organisasi yang ingin mewujudkan dirinya menjadi organisassi belajar.
D. Pemerataan Kesempatan Belajar
E-learning adalah pembelajaran yang memerlukan alat bantu. aplikasinya ialah untuk pembelajaran, khususnya pembelajaran terbuka dan jarak jauh. hal itu merupakan salah satu cara agar dalam pembelajaran tersebut diharuskan dalam forum tatap muka.
Dalam mengenali kemampuan dan fungsi telematika, kita menyimpulkan bahwa telematika dapat berfungsi sebagaoi sarana sumber daya dan pembudaya terhadap perorangan dan kelompok masyarakat. Pada tingkat operasional dalam menunjang kegiatan manusia maka nilai utama telematika juga tidak lepas dari risiko, seperti kesenjangan ketimpangan pemerataan akses pada informasi, dan ketergantungan akan teknologi. Penerapan pendidikan jarak jauh misalnya pada sekolah atau perguruan tinggi terbuka.

E. Pelangi Teknologi Pendidikan
Dalam kaitan pelangi pendidikan dapat dikaji dalam praktik teknologi pendidikan di berbagai bidang yang terkait dengan masalah-masalah belajar. seperti dalam pendidikan itu, dapat dirasakan oleh semua orang atau tidak.



Judul Buku: Belajar tanpa Sekolah,
Judul Asli: The Unschooling Handbook: How to Use Whole World As Your Child’s Classroom (1998).
Penulis: Mary Graffith
Penerjemah: Mutia Dharma Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung Cetakan: I, 2007. Tebal: 240 halaman




Di Indonesia, tahun 2006 ada 6 juta lebih anak usia 7-15 tahun yang putus sekolah. Ada lebih 14 juta orang buta huruf. Berulang kali pemerintah dikritik. Berulang kali gerakan sekolah digalakkan. Namun, selama jalan yang ditempuh sekadar membangun sekolah baru, selama itu pula ketertinggalan tidak akan teratasi secara mendasar. Harus ada terobosan baru.Di tengah-tengah kebuntuan pemerintah dalam mengatasi ketertinggalan pendidikan, Pendidikan Luar Sekolah barangkali bisa menjadi jalan alternatif untuk mengatasi persoalan keterpurukan dunia pendidikan di negeri ini. Melalui buku The Unschooling Handbook ini, Marry Griffith, seorang aktivis pendidikan di Amerika Serikat memberikan satu kesaksian di mana gerakan Pendidikan Luar Sekolah bukan saja menjadi alternatif secara ekonomis, melainkan mampu mendobrak kebekuan sistem pendidikan sekolah konvensional. Lebih dari itu, pendidikan ini juga menjanjikan suatu kesadaran tentang teori dan praktek. Pendidikan Luar Sekolah adalah alternatif yang lebih menjanjikan bagi masa depan pemikiran anak-anak. Konsep dasarnya ialah filsafat ‘pendekatan’. Istilah ini sebagai bentuk praktis di mana anak didik pada dasarnya membutuhkan perhatian tersendiri. Masing-masing anak memiliki penalaran, kecakapan, cara pandang, motivasi dan tujuan yang berbeda atas keinginannya belajar. Konsep ini adalah kritik mendasar atas kelemahan pendekatan paradigma pedagogi yang menganggap target peningkatan sumber daya manusia sesederhana menyusun impian. Padahal, menurut Marry, dunia kini dunia masa depan anak dan remaja sangat kompleks.
Pendidikan Luar Sekolah bukanlah sistem pembelajaran yang rumit. Di dalamnya tidak ada formula ajaib, tidak ada kumpulan solusi mudah untuk masalah pendidikan tiap anak, melainkan sebuah cara yang sederhana untuk merancang pembelajaran menurut kebutuhan spesifik tiap anak dan tiap keluarga. Pendidikan Tanpa Sekolah lebih mudah diterapkan daripada pendekatan bejalar yang terstruktur. Hal ini dikarenakan hanya sedikit tugas formal yang harus dikerjakan. Tidak ada pelajaran yang direncanakan, tidak ada ceramah atau tugas yang diberikan, tidak ada tes untuk ditulis dan dinilai. (hlm 194)
Apakah ini tidak sekadar permainan anak-anak? Apakah ada jaminan masa depan yang lebih baik dari pendidikan konvensional?
Pada prinsipnya, pendidikan atau pembelajaran adalah sebuah impuls alami yang didapatkan sejak lahir, dan dunia ini kaya dengan pelajaran untuk dipelajari, juga teka-teki untuk dipecahkan (hlm 40). Prinsip universal yang berlaku bagi anak-anak dan remaja adalah ‘bermain’ dan ‘belajar’.
Dalam ranah inilah proses pendidikan dilangsungkan untuk saling melengkapi. Satu ungkapan menarik disampiakan oleh seorang anak didik Pendidikan Luar Sekolah di California. Sauna (13) mengatakan,“ aku bisa belajar di lingkungan yang tidak menekan, di mana fokus utamanya adalah menyiapkan diri untuk menjadi bagian dari dunia dewasa. Akulah yang memutuskan apa yang akan kulakukan tiap hari. Kalau aku di sekolah, orang lain akan mengatur pembelajaranku, yang (bagiku) tidak masuk akal. Aku tidak bisa membaca di pohon, dengan anjingku, atau di kursi malas. Sedangkan Carol (41), salah seorang ibu yang lebih 5 tahun mendidik sendiri anaknya mengatakan, “Pendidikan Luar Sekolah berarti mempelajari apa yang kita inginkan, saat kita menginginkannya, dengan cara yang kita inginkan, di tempat yang kita inginkan, untuk alasan kita sendiri. Pembelajaran diarahkan pada si pembelajar; penasehat atau fasilitator dicari sesuai keinginan si pembelajar. (Hlm17)
Dalam konteks inilah orangtua benar-benar dilibatkan dalam proses penentuan kegiatan belajar; dengan memberi masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan Pendidikan Luar Sekolah. Orangtua harus benar-benar menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparasi dijiwai semangat demokratis, keterbukaan, disertai kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal. Sebagimana dikatakan pengamat pendidikan, Doni Kesuma A (2006), komunikasi pendidikan yang memperhatikan berbagai dimensi relasional di antara pihak-pihak yang terkait proses formasi (orang tua, pendidik, sekolah, masyarakat, dan lainnya)merupakan jalinan relasional yang saling menghargai otonomi dan peran dalam kerangka pendidikan.
Pengertian pendidikan di sini tentu lebih radikal ketimbang sekadar mengejar target kecerdasan formal. Pendidikan Luar Sekolah tidak sekadar menciptakan anak menjadi cerdas, melainkan juga memberi kesempatan, dorongan dan motivasi untuk berani mengambil sikap. Dengan demikian anak didik benar-benar mandiri, baik dalam hal berpikir maupun bertindak.
Pendidikan Luar Sekolah tidak anti-modernitas. Bahkan perangkat modern seperti televisi, radio, media cetak, otomotif bisa dijadikan ajang pendidikan sekaligus pemuasan hobi anak-anak. Siapa guru yang bisa mendidik anak-anak itu? Awalnya di California, beberapa aktivis pendidikan melakukan proses pembelajaran kepada para orang tua, terutama para ibu-ibu di daerah pedalaman. Baru setelah itu para orang tua mempraktekkan pendidikan luar sekolah kepada anak-anaknya. Di Amerika Serikat, gerakan Pendidikan Luar Sekolah ini semakin meluas dalam berbagai bentuk variasi, mulai dari yang ekstrim, seperti orang tua tidak mau menyekolahkan anaknya secara formal. Hal ini dikarenakan kesuksesan penerapan Pendidikan Luar Sekolah atas keberhasilannya melahirkan banyak anak lebih cerdas, kreatif dan memiliki karakter kepemimpinan ketimbang anak-anak sekolah formal. Selama kita tidak bicara tentang perolehan ijasah. Selama pendidikan yang kita lakukan semata-mata untuk ilmu, pengetahuan dan pengalaman, tentu Pendidikan Luar Sekolah lebih menjanjikan ketimbang sekolah formal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar