TUGAS 8 TEMA METODE BELAJAR
Judul Buku: Belajar tanpa Sekolah,
Judul Asli: The Unschooling Handbook: How to Use
Whole World As Your Child’s Classroom (1998).
Penulis: Mary Graffith
Penerjemah: Mutia Dharma Penerbit: Nuansa Cendekia
Bandung Cetakan: I, 2007. Tebal: 240 halaman
Di
Indonesia, tahun 2006 ada 6 juta lebih anak usia 7-15 tahun yang putus sekolah.
Ada lebih 14 juta orang buta huruf. Berulang kali pemerintah dikritik. Berulang
kali gerakan sekolah digalakkan. Namun, selama jalan yang ditempuh sekadar
membangun sekolah baru, selama itu pula ketertinggalan tidak akan teratasi
secara mendasar. Harus ada terobosan baru.Di tengah-tengah kebuntuan pemerintah dalam mengatasi
ketertinggalan pendidikan, Pendidikan Luar Sekolah barangkali bisa menjadi
jalan alternatif untuk mengatasi persoalan keterpurukan dunia pendidikan di
negeri ini. Melalui buku The Unschooling Handbook ini, Marry Griffith,
seorang aktivis pendidikan di Amerika Serikat memberikan satu kesaksian di mana
gerakan Pendidikan Luar Sekolah bukan saja menjadi alternatif secara ekonomis,
melainkan mampu mendobrak kebekuan sistem pendidikan sekolah konvensional. Lebih
dari itu, pendidikan ini juga menjanjikan suatu kesadaran tentang teori dan
praktek. Pendidikan Luar Sekolah adalah alternatif yang lebih menjanjikan bagi
masa depan pemikiran anak-anak. Konsep dasarnya ialah filsafat ‘pendekatan’.
Istilah ini sebagai bentuk praktis di mana anak didik pada dasarnya membutuhkan
perhatian tersendiri. Masing-masing anak memiliki penalaran, kecakapan, cara
pandang, motivasi dan tujuan yang berbeda atas keinginannya belajar. Konsep ini
adalah kritik mendasar atas kelemahan pendekatan paradigma pedagogi yang
menganggap target peningkatan sumber daya manusia sesederhana menyusun impian.
Padahal, menurut Marry, dunia kini dunia masa depan anak dan remaja sangat
kompleks.
Pendidikan
Luar Sekolah bukanlah sistem pembelajaran yang rumit. Di dalamnya tidak ada
formula ajaib, tidak ada kumpulan solusi mudah untuk masalah pendidikan tiap
anak, melainkan sebuah cara yang sederhana untuk merancang pembelajaran menurut
kebutuhan spesifik tiap anak dan tiap keluarga. Pendidikan Tanpa Sekolah lebih
mudah diterapkan daripada pendekatan bejalar yang terstruktur. Hal ini
dikarenakan hanya sedikit tugas formal yang harus dikerjakan. Tidak ada
pelajaran yang direncanakan, tidak ada ceramah atau tugas yang diberikan, tidak
ada tes untuk ditulis dan dinilai. (hlm 194)
Apakah ini
tidak sekadar permainan anak-anak? Apakah ada jaminan masa depan yang lebih
baik dari pendidikan konvensional?
Pada
prinsipnya, pendidikan atau pembelajaran adalah sebuah impuls alami yang
didapatkan sejak lahir, dan dunia ini kaya dengan pelajaran untuk dipelajari,
juga teka-teki untuk dipecahkan (hlm 40). Prinsip universal yang berlaku bagi
anak-anak dan remaja adalah ‘bermain’ dan ‘belajar’.
Dalam ranah
inilah proses pendidikan dilangsungkan untuk saling melengkapi. Satu ungkapan
menarik disampiakan oleh seorang anak didik Pendidikan Luar Sekolah di
California. Sauna (13) mengatakan,“ aku bisa belajar di lingkungan yang tidak
menekan, di mana fokus utamanya adalah menyiapkan diri untuk menjadi bagian
dari dunia dewasa. Akulah yang memutuskan apa yang akan kulakukan tiap hari.
Kalau aku di sekolah, orang lain akan mengatur pembelajaranku, yang (bagiku)
tidak masuk akal. Aku tidak bisa membaca di pohon, dengan anjingku, atau di
kursi malas. Sedangkan Carol (41), salah seorang ibu yang lebih 5 tahun
mendidik sendiri anaknya mengatakan, “Pendidikan Luar Sekolah berarti
mempelajari apa yang kita inginkan, saat kita menginginkannya, dengan cara yang
kita inginkan, di tempat yang kita inginkan, untuk alasan kita sendiri. Pembelajaran
diarahkan pada si pembelajar; penasehat atau fasilitator dicari sesuai
keinginan si pembelajar. (Hlm17)
Dalam
konteks inilah orangtua benar-benar dilibatkan dalam proses penentuan kegiatan
belajar; dengan memberi masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih
dan ditawarkan Pendidikan Luar Sekolah. Orangtua harus benar-benar menjadi
partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan
transparasi dijiwai semangat demokratis, keterbukaan, disertai kepekaan akan
kebutuhan masyarakat lokal. Sebagimana dikatakan pengamat pendidikan, Doni
Kesuma A (2006), komunikasi pendidikan yang memperhatikan berbagai dimensi
relasional di antara pihak-pihak yang terkait proses formasi (orang tua,
pendidik, sekolah, masyarakat, dan lainnya)merupakan jalinan relasional yang
saling menghargai otonomi dan peran dalam kerangka pendidikan.
Pengertian
pendidikan di sini tentu lebih radikal ketimbang sekadar mengejar target
kecerdasan formal. Pendidikan Luar Sekolah tidak sekadar menciptakan anak menjadi
cerdas, melainkan juga memberi kesempatan, dorongan dan motivasi untuk berani
mengambil sikap. Dengan demikian anak didik benar-benar mandiri, baik dalam hal
berpikir maupun bertindak.
Pendidikan
Luar Sekolah tidak anti-modernitas. Bahkan perangkat modern seperti televisi,
radio, media cetak, otomotif bisa dijadikan ajang pendidikan sekaligus pemuasan
hobi anak-anak. Siapa guru yang bisa mendidik anak-anak itu? Awalnya di
California, beberapa aktivis pendidikan melakukan proses pembelajaran kepada para
orang tua, terutama para ibu-ibu di daerah pedalaman. Baru setelah itu para
orang tua mempraktekkan pendidikan luar sekolah kepada anak-anaknya. Di Amerika
Serikat, gerakan Pendidikan Luar Sekolah ini semakin meluas dalam berbagai
bentuk variasi, mulai dari yang ekstrim, seperti orang tua tidak mau
menyekolahkan anaknya secara formal. Hal ini dikarenakan kesuksesan penerapan
Pendidikan Luar Sekolah atas keberhasilannya melahirkan banyak anak lebih
cerdas, kreatif dan memiliki karakter kepemimpinan ketimbang anak-anak sekolah
formal. Selama kita tidak bicara tentang perolehan ijasah. Selama pendidikan
yang kita lakukan semata-mata untuk ilmu, pengetahuan dan pengalaman, tentu
Pendidikan Luar Sekolah lebih menjanjikan ketimbang sekolah formal.
Sumber:https://faizmanshur.wordpress.com/2007/05/17/jalan-baru-pendidikan-tanpa-sekolah
Judul : Mozaik Teknologi Pendidikan
Penulis : Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
A. Upaya
Peningkatan Mutu Pendidikan
Peningkatan
mutu pendidikan merupakan isu sentral di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk
Indonesia. teknologi pendidikan merupakan bagian dari pendidikan yang ikut
serta berupaya meningkatkan mutu pendidikan melalui cara-caranya yang khas.
Peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan cara merancang strategi yang
dikenal dengan strategi pembelajaran. Komponen pokok strategi pembelajarsn
meliputi: kegiatan pembelajaran pendahuluan, penyampaian materi pembelajaran,
memancing penampilan siswa, pemberian umpan balik, dan kegiatan tindak lanjut,
berupa alih pengetahuan, pemberian remedial dan pengayaan. Di dalam strategi
pembelajaran berbasis Multiple Intelligence (MI) dapat menjadikan siwa sebagai
sang juara pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan kecerdasan yang menonjol
pada dirinya, karena setiap individu atau siswa selalu ada satu lebih
kecerdasan menonjol yang dimilikinya.
B.
Pendayagunaan Teknologi Pendidikan
Dalam pendayagunaan teknologi
pendidikan atau teknologi untuk pendidikan terdapat di setiap negara. Namun,
kita tahu bahwa teknologi pendidikan, sebagaimana teknologi pada umumnya
memiliki dua ciri pokok yaitu efisiensi dan efektifitas. Teknologi pendidikan
yang direncanakan, dikembangkan dan dimanfaatkan secara baik dan benar akan
membantu mengatasi masalah mutu, tenaga, biaya dan sumber daya lainnya. Saingan
dalam antar bangsa dalam mempersiapkan anak-anak dan masyarakatnya memasuki era
global melalui pendayagunaan teknologi pendidikan, suka atau tidak suka telah
berjalan sejak lama bukan saja di Asia Tenggara, namun di belahan dunia
lainnya. Pengembangan pendayagunaan teknologi pendidikan atau teknologi
teknologi pendidikan seharusnya mendapatkan prioritas dalam upaya tertentu.
C. Teknologi
Kinerja Dan Proses Belajar
Persepsi jarang disinggung dalam
tulisan terkait dalam proses belajar. Padahal, cara pikir, minat, atau potensi
dapat berkembang dengan baik jika seseorang memiliki persepsi yang memadai.
Kemudian pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mendukung perusahaan
agar mampu beradaptasi tehadap perubahan lingkungan dan mencapai keunggulan
kompetitif melalui peningkatan intelegensi organisasi.
Dalam pembelajaran berbantuan
komputer, rencangan instruksional haruslah dikembangkan atas dasar pemahaman
bagaimana proses belajar terjadi pada diri setiap individu. Penggunanaan
komputer dalam pembelajaran bukanlah dimaksudkan untuk menciptakan mesin-mesin
yang mampu mengajar melainkan untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang
produktif.
Diperlukan konsep sederhana untuk
membantu mengingatkan dan mempermudah pemahaman-pemahaman dalam menciptakan
suatu organisasi belajar dengan menyajikan konsep, asumsi, tipologi gaya
belajar, dan kompeten yang dimiliki oleh organisasi yang ingin mewujudkan
dirinya menjadi organisassi belajar.
D.
Pemerataan Kesempatan Belajar
E-learning adalah pembelajaran yang
memerlukan alat bantu. aplikasinya ialah untuk pembelajaran, khususnya
pembelajaran terbuka dan jarak jauh. hal itu merupakan salah satu cara agar
dalam pembelajaran tersebut diharuskan dalam forum tatap muka.
Dalam mengenali kemampuan dan fungsi
telematika, kita menyimpulkan bahwa telematika dapat berfungsi sebagaoi sarana
sumber daya dan pembudaya terhadap perorangan dan kelompok masyarakat. Pada
tingkat operasional dalam menunjang kegiatan manusia maka nilai utama
telematika juga tidak lepas dari risiko, seperti kesenjangan ketimpangan
pemerataan akses pada informasi, dan ketergantungan akan teknologi. Penerapan
pendidikan jarak jauh misalnya pada sekolah atau perguruan tinggi terbuka.
E. Pelangi
Teknologi Pendidikan
Dalam kaitan pelangi pendidikan
dapat dikaji dalam praktik teknologi pendidikan di berbagai bidang yang terkait
dengan masalah-masalah belajar. seperti dalam pendidikan itu, dapat dirasakan
oleh semua orang atau tidak.
Judul Buku: Belajar tanpa Sekolah,
Judul Asli: The Unschooling Handbook: How to Use
Whole World As Your Child’s Classroom (1998).
Penulis: Mary Graffith
Penerjemah: Mutia Dharma Penerbit: Nuansa Cendekia
Bandung Cetakan: I, 2007. Tebal: 240 halaman
Di
Indonesia, tahun 2006 ada 6 juta lebih anak usia 7-15 tahun yang putus sekolah.
Ada lebih 14 juta orang buta huruf. Berulang kali pemerintah dikritik. Berulang
kali gerakan sekolah digalakkan. Namun, selama jalan yang ditempuh sekadar
membangun sekolah baru, selama itu pula ketertinggalan tidak akan teratasi
secara mendasar. Harus ada terobosan baru.Di tengah-tengah kebuntuan pemerintah dalam mengatasi
ketertinggalan pendidikan, Pendidikan Luar Sekolah barangkali bisa menjadi
jalan alternatif untuk mengatasi persoalan keterpurukan dunia pendidikan di
negeri ini. Melalui buku The Unschooling Handbook ini, Marry Griffith,
seorang aktivis pendidikan di Amerika Serikat memberikan satu kesaksian di mana
gerakan Pendidikan Luar Sekolah bukan saja menjadi alternatif secara ekonomis,
melainkan mampu mendobrak kebekuan sistem pendidikan sekolah konvensional. Lebih
dari itu, pendidikan ini juga menjanjikan suatu kesadaran tentang teori dan
praktek. Pendidikan Luar Sekolah adalah alternatif yang lebih menjanjikan bagi
masa depan pemikiran anak-anak. Konsep dasarnya ialah filsafat ‘pendekatan’.
Istilah ini sebagai bentuk praktis di mana anak didik pada dasarnya membutuhkan
perhatian tersendiri. Masing-masing anak memiliki penalaran, kecakapan, cara
pandang, motivasi dan tujuan yang berbeda atas keinginannya belajar. Konsep ini
adalah kritik mendasar atas kelemahan pendekatan paradigma pedagogi yang
menganggap target peningkatan sumber daya manusia sesederhana menyusun impian.
Padahal, menurut Marry, dunia kini dunia masa depan anak dan remaja sangat
kompleks.
Pendidikan
Luar Sekolah bukanlah sistem pembelajaran yang rumit. Di dalamnya tidak ada
formula ajaib, tidak ada kumpulan solusi mudah untuk masalah pendidikan tiap
anak, melainkan sebuah cara yang sederhana untuk merancang pembelajaran menurut
kebutuhan spesifik tiap anak dan tiap keluarga. Pendidikan Tanpa Sekolah lebih
mudah diterapkan daripada pendekatan bejalar yang terstruktur. Hal ini
dikarenakan hanya sedikit tugas formal yang harus dikerjakan. Tidak ada
pelajaran yang direncanakan, tidak ada ceramah atau tugas yang diberikan, tidak
ada tes untuk ditulis dan dinilai. (hlm 194)
Apakah ini
tidak sekadar permainan anak-anak? Apakah ada jaminan masa depan yang lebih
baik dari pendidikan konvensional?
Pada
prinsipnya, pendidikan atau pembelajaran adalah sebuah impuls alami yang
didapatkan sejak lahir, dan dunia ini kaya dengan pelajaran untuk dipelajari,
juga teka-teki untuk dipecahkan (hlm 40). Prinsip universal yang berlaku bagi
anak-anak dan remaja adalah ‘bermain’ dan ‘belajar’.
Dalam ranah
inilah proses pendidikan dilangsungkan untuk saling melengkapi. Satu ungkapan
menarik disampiakan oleh seorang anak didik Pendidikan Luar Sekolah di
California. Sauna (13) mengatakan,“ aku bisa belajar di lingkungan yang tidak
menekan, di mana fokus utamanya adalah menyiapkan diri untuk menjadi bagian
dari dunia dewasa. Akulah yang memutuskan apa yang akan kulakukan tiap hari.
Kalau aku di sekolah, orang lain akan mengatur pembelajaranku, yang (bagiku)
tidak masuk akal. Aku tidak bisa membaca di pohon, dengan anjingku, atau di
kursi malas. Sedangkan Carol (41), salah seorang ibu yang lebih 5 tahun
mendidik sendiri anaknya mengatakan, “Pendidikan Luar Sekolah berarti
mempelajari apa yang kita inginkan, saat kita menginginkannya, dengan cara yang
kita inginkan, di tempat yang kita inginkan, untuk alasan kita sendiri. Pembelajaran
diarahkan pada si pembelajar; penasehat atau fasilitator dicari sesuai
keinginan si pembelajar. (Hlm17)
Dalam
konteks inilah orangtua benar-benar dilibatkan dalam proses penentuan kegiatan
belajar; dengan memberi masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih
dan ditawarkan Pendidikan Luar Sekolah. Orangtua harus benar-benar menjadi
partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan
transparasi dijiwai semangat demokratis, keterbukaan, disertai kepekaan akan
kebutuhan masyarakat lokal. Sebagimana dikatakan pengamat pendidikan, Doni
Kesuma A (2006), komunikasi pendidikan yang memperhatikan berbagai dimensi
relasional di antara pihak-pihak yang terkait proses formasi (orang tua,
pendidik, sekolah, masyarakat, dan lainnya)merupakan jalinan relasional yang
saling menghargai otonomi dan peran dalam kerangka pendidikan.
Pengertian
pendidikan di sini tentu lebih radikal ketimbang sekadar mengejar target
kecerdasan formal. Pendidikan Luar Sekolah tidak sekadar menciptakan anak menjadi
cerdas, melainkan juga memberi kesempatan, dorongan dan motivasi untuk berani
mengambil sikap. Dengan demikian anak didik benar-benar mandiri, baik dalam hal
berpikir maupun bertindak.
Pendidikan
Luar Sekolah tidak anti-modernitas. Bahkan perangkat modern seperti televisi,
radio, media cetak, otomotif bisa dijadikan ajang pendidikan sekaligus pemuasan
hobi anak-anak. Siapa guru yang bisa mendidik anak-anak itu? Awalnya di
California, beberapa aktivis pendidikan melakukan proses pembelajaran kepada para
orang tua, terutama para ibu-ibu di daerah pedalaman. Baru setelah itu para
orang tua mempraktekkan pendidikan luar sekolah kepada anak-anaknya. Di Amerika
Serikat, gerakan Pendidikan Luar Sekolah ini semakin meluas dalam berbagai
bentuk variasi, mulai dari yang ekstrim, seperti orang tua tidak mau
menyekolahkan anaknya secara formal. Hal ini dikarenakan kesuksesan penerapan
Pendidikan Luar Sekolah atas keberhasilannya melahirkan banyak anak lebih
cerdas, kreatif dan memiliki karakter kepemimpinan ketimbang anak-anak sekolah
formal. Selama kita tidak bicara tentang perolehan ijasah. Selama pendidikan
yang kita lakukan semata-mata untuk ilmu, pengetahuan dan pengalaman, tentu
Pendidikan Luar Sekolah lebih menjanjikan ketimbang sekolah formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar